KESERUAN ACARA 17 AGUSTUSAN
17 Agustus 2015. Siapa yang tidak menunggu
kehadiran hari itu. Gema kemerdekaan berkumandang di seluruh penjuru negeri
kita, Indonesia. Semua rakyat menyambut kedatangannya, tak terkecuali warga
kampung tempatku tinggal. Berbagai kegiatan, mulai dari pemasangan bendera
untuk memeriahkan peringatan tujuh belasan, kerja bakti membersihkan kampung,
hingga mempersiapkan acara tujuh belasan kami lakukan sebagai bentuk antusiasme
kami terhadap tanggal penuh sejarah itu. Seluruh warga turut bahu-membahu, baik
anak kecil maupun remaja, baik yang muda maupun yang dewasa, tak tertinggal
seorang pun.
Oh iya, sebelum ceritaku berlanjut, alangkah
baiknya kita berkenalan terlebih dahulu. Perkenalkan, TRI SETYOWATI dan kuliah
di STMIK-AKADEMIN BINA INSANI,. Aku tinggal di bawah langit, di atas bumi.
Bercanda. Maksudku, aku tinggal di perumahan Griya Alam Sentosa cileungsi-Bogor.
Aku merupakan salah satu remaja putri yang cukup aktif di lingkungan tempat
tinggalku. Salah satu bentuk keaktifanku adalah dalam kegiatan peringatan HUT
kemerdekaan tahun ini.
Ini salah satu cerita cerita bias di bilang bahagia atau
tidak. Kali ini saya akan cerita saat saya menjadi panitia 17 agustus di
lingkungan rumah, biasanya saya yg ikut lomba. Tapi kali ini saya yang menjadi
panitiaa. Sebenarnya saat itu pada tangga 15 agustus, bapak ketua RT sudah
memutuskan untuk tidak mengadakan lomba dikarenakan masih dalam situasi
lebaran.
Tapi kami para pemuda karang taruna ingin
untuk mengadakan lomba, situasi saat itu menunjukan pukul 01.00 kami pun membentuk
panitia kecil untuk menghadap ke Bpk.Ketua RT untuk meminta izin mengadakan
lomba dan memasang umbul sebagai tanda bahwa tanggal 17 nanti akan diadakan
lomba. Dan alhamdulilahnya Bpk. Ketua RT mengizinkan untuk diadakannya lomba.
Setelah diizinkan pagi harinya kami pun
bergegas untuk membeli perlengkapan yang akan dipakai untuk lomba, dari mulai
bendera, kelereng, balon, kerupuk dll. Oia dana yang kami pakai didukung dari
lingkungan RT.
Dana yang semestinya dikeluarkan untuk
pembelian alat tulis kantor (ATK) bagi panitia di hari H lomba-lomba yang
diadakan semacam pulpen dan notes tetap utuh. Malahan sisa pulpen berpenampilan
menarik dari sponsor digabungkan dengan buku-buku tulis yang kami beli, dapat
dijadikan sebagai hadiah bagi pemenang lomba yang diperuntukkan anak-anak.
Menginjak soal dana kegiatan perayaan 17 Agustus. Setiap
tahunnya, rt kami memiliki dana khusus ‘tujuhbelasan’ sebesar kurang lebih Rp 4.000.000
(Empat Juta Rupiah). Dana tujuhbelasan ini dikutip dari iuran warga minimal Rp
20.000 (Dua Puluh Ribu Rupiah) per kepala keluarga (KK). Jumlah iuran sudah
cukup sebagai dana awal bagi panitia (menggandakan proposal, jamuan rapat-rapat
panitia dan lain sebagainya).
Setelah
soal administrasi di awal melaksanakan amanah tidak ada masalah, mulailah
pembagian tugas pencarian dana. Di intern warga, beberapa panitia saya beri
tugas mendatangi rumah ke rumah warga guna meminta bantuan dana. Saya sendiri
selaku Bendahara panitia mencari di warga rt, dalam hal ini mengontak
kolega-kolega yang secara personal saya kenal dekat. Terkumpul lebih dari Rp
4.800.000 (Empat Juta Delapan Ratus Ribu Rupiah).
Dengan dana yang diperoleh itu, saya sebagai Bendahara Panitia HUT RI
ke-70 diharuskan meng-cover 2 (dua) kegiatan perayaan kemerdekaan
sekaligus saat itu, kegiatan lomba-lomba tujuhbelasan untuk anak-anak dan orang
dewasa, malam renungan 16 Agustus, resepsi peringatan HUT RI, dan diakhiri
dengan lomba panjat pinang bagi remaja-remaja kampung.
Ke esokan Pagi langit begitu cerah mendukung suasana hari.
Ya, hari ini 17 Agustus 2015 hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70
tahun. Terlihat banyak anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak semua berkumpul di depan
mushola Al-Ikhlas. Kebetulan disana ada tanah cukup luas. Dengan penuh antusias
mereka ikut serta memeriahkan acara tujuh belasan yang diadakan oleh pak
Suwardi ketua RT 008 RW 08 Cileungsi- Bogor.
Dengan semangat penuh anak-anak kecil mengikuti lomba-lomba. Melihat mereka, aku jadi teringat waktu aku seusia mereka. Ya sekitar 6 – 12 tahun lah. Saat itu aku bersama teman-temanku. Ada wahyu, Tri iswanto, angel dan lainnya, berada di tempat itu di depan mushola Al-Ikhlas sebagai panitia perlombaan 17 Agustusan.
“trii
banguuuun” ajak mba atik membangunkan ku.
“iyaaahh sebentr aqu mandi duluuu” aku mengiyakannya.
Aku dan mba atik serta teman teman yang lain mempersiapkan peralatan yang akan di gunakan pada saat lomba.
Setelah mempersiapkan perlengkapan seperti sound,dll kami sebagai panitia mulai memanggil anak-anak kecil untuk mengikuti karnaval sepedeh hias sebelum acara di mulai kita breafing terlebih dahulu untuk rute arah mana saja yang akan di lewati karnaval, setelah tau rute yg di tuju kami sebagai panitia dan pserta lomba berkumpul d lapangan untuk memuali acara, para orang tua pun menemani anak anaknya dalam karnaval sepedah hias, lumayan panjang rute yg kita tuju dalam karnaval, dan ada banyak sepedah yang di hias salam perlombaan karnaval ,,,
Persiapan demi persiapan telah terlaksana dan
tanggal 17 Agustus 2015 pun tiba. Berbagai acara pun sudah siap dilangsungkan,
mulai dari sambutan Ketua RT Cihati, pelaksanaan berbagai lomba, hingga acara
puncak, yaitu syukuran atas kemerdekaan yang Tuhan berikan kepada bangsa dan
tanah air kita selama 70 tahun.
Bagiku, acara yang menarik adalah pelaksanaan
lomba tujuh belasan. Mengapa menarik? Karena menurutku, dengan mengikuti lomba
dan berusaha menjadi pemenang dari lomba itu, sama layaknya dengan kita
menjiwai pahlawan demi menggapai kemerdekaan.
“Selamat datang di ‘Lomba Tujuh Belas Agustus
Cihati’!!!” seru pembawa acara lomba yang merupakan anggota Karang Taruna
Cihati pula. “Lomba ini dapat diikuti oleh semua kalangan, “Yeay!!!” teriakku
dengan gembira, namun hanya sejenak karena dengan seketika berpasang-pasang
mata melirik ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum menahan tawa. Ya, aku bahagia
sekali, karena aku karang taruna .
Jadi, bisa ikut lomba.
“Balap karung! Balap karung! Daftar di sini!”
teriak panitia yang lainnya.
Mendengar seruan panitia itu, aku segera
menuju ke meja pendaftaran itu. ya, aku mau ikut lomba balap karung. Tak lama,
aku pun sampai di meja pendaftaran dan sesi pendaftaran pun selesai, tinggal
menunggu waktu untuk namaku dipanggil.
“Okay,
perlombaan selanjutnya dilombakan oleh peserta berikutnya, yaitu Gita, Arif,
Ayu, dan Rangga,” teriak panitia memanggil peserta lomba yang diikuti
kedatangan peserta lomba yang dipanggil, termasuk aku. “Yap, bersedia, siap, mulai!” teriaknya lagi, memandu perlombaan.
Aku yang sudah siap, baik fisik maupun
mental, langsung bersemangat berlari menggunakan karung goni. Susah memang,
tetapi harus bisa. “Pahlawan saja bisa, mengapa aku tidak?” semangatku dalam
hati.
“Gubrak”
Aku terjatuh. Mungkin karena aku terlalu
bersemangat, sehingga aku tidak melihat kalau ada genangan air di lintasanku.
Terpeleset pun tak dapat dihindari.
“Hahahahahahaha,” gelak tawa mengiringi
usahaku untuk bangkit dari tanah. Sedang saat itu, mataku menangkap bahwa Arif
sudah kembali ke garis start,
pertanda dialah pemenangnya. Aku pun segera bangun untuk menyelesaikan
perlombaan, walaupun tidak ada peluang bagiku untuk menjadi pemenang.
“Selamat, Rif,” ujarku memberi selamat kepada
Arif.
“Makasih, Git. Ngomong-ngomong, kok kamu bisa kalah?” tanyanya sambil
menahan tawa.
“Jangan pura-pura gak tahu, Rif,” jawabku
malu-malu.
Di tengah pembicaraanku dengan Arif, kedua
teman-teman seperjuangan lomba tadi menghampiriku.
“Hai!” seru Ayu dan Rangga.
“Yoi, sini-sini!” panggilku.
“Berduaan aja,” goda Ayu. “Gak nyoba lomba yang
lain?” tanyanya.
“Lah, kalian dari tadi dicariin gak tau
kemana,” jawabku singkat.
“Oalah, kita habis ikut lomba ini, nih,” balas Rangga seraya memegang belut
tepat di depan wajahku.
“Aaaaaa!!! Jangan mendekat! Buang itu!”
teriakku tiba-tiba dengan tidak jelas.
“Kamu takut dengan belut?” tanya Ayu dengan
bingung. Aku hanya mengangguk pelan.
“Aha! Rasakan ini, Gita!” kata Rangga seraya
bersiap mengejarku.
Melihat sikap Rangga yang “mencurigakan”, aku
segera berlari kencang menjauhinya. Di dalam anganku, aku menganggap bahwa
Rangga adalah penjajah yang ingin mengganggu kemerdekaanku, dan aku harus
berjuang untuk berlari menjauh darinya.
“Gubrak”
Bagai masuk ke lubang yang sama. Aku kembali
terjatuh, namun bukan karena sedang mengikuti lomba, melainkan karena ketakutan
dengan belut yang berada di genggaman Rangga.
“Hahaha, jatuh lagi, Git?” tanya seseorang
yang suaranya tak asing lagi di telingaku dan segera aku menoleh kepadanya.
“Tertawa kamu, Rif?” tanyaku dengan wajah
memelas.
“Hahaha, mukamu itu…, kotor banget, Git,”
jelas Arif. “Git, celanamu sobek?” sambungnya lagi dengan muka merah.
“Hehehe, iya,” jawabku sambil menahan malu.
“Jangan ketawa aja, bantuin aku, dong!”
lanjutku memohon bantuan Arif. Tanpa aku ketahui, Arif mengeluarkan sapu
tangannya dan mengelap wajahku yang penuh dengan tanah becek.
“Kalau lagi dibersihin, yang tenang, dong! Kalau mukamu kotor, cantikmu
hilang, Git,” ujar Arif seraya membersihkan wajahku.
Jantungku berdegup cepat, keringat dingin
mengucur sepanjang tubuh, dan aku tidak dapat melepaskan tatapan mataku hanya
untuk sekedar berpaling darinya.
“Gak! Arif itu sahabatku, kita hanya sebatas
sehabat, tidak lebih. Dia perhatian sama aku, karena aku sahabatnya,” ujarku
dalam hati.
“Sudah bersih, Git,” kata Arif membuyarkan
lamunanku. “Kakimu sakit?” sambungnya. Aku mengangguk, mengiyakan.
Aku kembali tak menyadari bahwa ia telah
menyediakan dan menawarkan punggungnya untuk menggendongku.
“Naiklah! Atau kau mau berjalan sendirian
dengan tertatih-tatih? Jujur, kalau aku, melihatmu saja kasihan. Apa kamu
sendiri tidak kasihan pada dirimu sendiri?” ujar Arif yang kusambut dengan
menaiki punggungnya.
Di atas punggung Arif, aku hanya bisa
terdiam, terdiam, dan terdiam. Di dalam diam, aku tidak menyadari bahwa mataku
sudah beranak. Alirannya terasa damai, melepas seluruh beban hatiku.
“Kamu nangis?” tanya Arif tiba-tiba yang
secara diam-diam memperhatikanku. Aku hanya menggeleng, karena jika aku
berbicara pasti suaraku berbeda. “Aku sahabatmu, Git. Apakah kamu mau
menutup-nutupinya dari aku?” tanyanya lagi. Mendengar itu, aku bagai tertusuk
ombak, sakit.
“Hai, kalian berdua lagi?” teriak dua orang
yang tampak sedang menghampiri aku dan Arif dari kejauhan.
“Kalian?” tanyaku yang membuat Rangga dan Ayu
terkesiap, seakan bertanya “mengapa?”
“Iya iya, kami tahu kalau kami salah. Maafkan
kami, ya!” mohon Rangga.
“Hah? Kami? Kamu aja kali, Rang,” sahut Ayu
sinis.
“Aku sudah memaafkannya sebelum kalian minta
maaf,” jelasku yang disambut senyuman oleh Rangga.
“Terus, mengapa kamu menangis?” tanya Arif
lagi.
“Huh, aku hanya membayangkan. Bagaimana kalau
pahlawan-pahlawan kita tidak bisa melepaskan tanah air kita dari cengkeraman
para penjajah. Apakah kita akan hidup sebebas dan sebahagia ini, berkumpul
dengan keluarga dan sahabat-sahabat kita?” ujarku menjelaskan penyebab
kesedihanku yang diangguki oleh sahabat-sahabatku.
“Iya juga. Kalau Indonesia belum merdeka,
mungkinkah kita bisa bertemu? Bermain bersama?” sambung Arif.
“Mulai hari ini, aku berjanji. Aku akan
menjaga kemerdekaan ini, dengan cara rajin belajar, mengikuti semangat juang
pahlawan, dan yang pasti tidak akan pernah mengkhianati negar ini, layaknya
para koruptor yang tidak tahu diuntung,” tutur Rangga dengan tegas.
“Iya, aku juga!” seru kami berbarengan
menyetujui Rangga.
“Janji gak akal ngerjain sahabat-sahabatmu
lagi, kan?” goda Ayu yang diikuti tawa kami berempat.
Ya itulah kami. Sahabat yang akan selalu
bersama di mana pun, kapan pun, dan sampai kapan pun, baik senang dan suka,
maupun di saat sakit dan duka. Kami adalah segelintir anak bangsa yang
berjanji, berbakti, dan mengabdi pada tanah air, bangsa, dan negara kita
tercinta, Indonesia. Dan kalian merupakan anak bangsa pula. Tapi, apakah kalian
berniat untuk memiliki janji seperti kami? Kami harap kalian menjawab “iya”.
Saya sendiri puas dan cukup bangga dengan keterlibatan sebagai
ketua panitia HUT RI ke-70 tersebut.dan ikut memeriahkan secara nyata perayaan
17 Agustus yang diadakan dan dapat membuktikan bahwa jika dikelola dengan baik
maka tidak ada ceritanya sebuah kepanitian semacam 17 Agustus –sekalipun
tingkat rt– harus berakhir dengan defisit. :)
THE END
Cerpen Karangan: Tri Setyowati
Facebook: Nona Tri Setyowati
Facebook: Nona Tri Setyowati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar